Minggu, 16 Januari 2011

Metode pemuliaan dengan kultur jaringan

1. Penyelamatan embrio
Pemuliaan tanaman terjadi melalui hibridisasi dan seleksi. Dengan menyilangkan tanaman, pemulia berusaha untuk menggabungkan karakter terbaik dari 2 tanaman yang berbeda. Melalui seleksi, pemulia mencoba untuk menyeleksi anakan yang memiliki kombinasi kualitas yang optimal dari kedua tanaman induk. Proses ini tentu saja sangat tergantung pada produksi benih viable. Jika benih viabel tidak terbentuk, tidak akan ada keturunan yang akan diseleksi. Tidak ada anakan tidak berarti fertilisasi tidak terjadi setelah polinasi. Kemungkinan terjadi keguguran embryo pada fase dini perkembangan biji, akibat penyebab yang tidak diketahui. Dengan teknik kultur jaringan, embryo yang belum matang ini dapat diselamatkan (SBW International, 2008)
Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang memungkinkan benih yang belum matang atau embrio diselamatkan untuk membentuk tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih – benih yang memiliki masa dormansi yang panjang. Belakangan ini juga berkembang teknik penyelamatan bakal biji yang telah terserbuki tapi tidak pernah menghasilkan benih viable. Penyelamatan embryo banyak dilakukan untuk memperoleh hibrida interspesifik dan intergenerik. Misalnya pada kentang dan berbagai tanaman hias.

2. Kultur Haploid
Pada pemuliaan konvensional, 2 galur tetua disilangkan untuk memperoleh tanaman hibrida F1. Dua set kromosom pada tanaman F1 bersegregasi acak pada generasi – generasi selanjutnya, untuk berbagai sifat agronomis. Pemulia tanaman harus menyeleksi gallur yang diinginkan dan menanamnya untuk sedikitnya 8 – 10 generasi, dengan seleksi yang kontinyu, sampai 2 set kromosom pada galur yang disilangkan menjadi identik (homozygous).
Kultur anther/mikrospora, yaitu mengkulturkan butiran tepung sari (dengan 1 set kromosom; haploid) diinduksi untuk membagi dan menggandakan jumlah kromosomnya sehingga tanaman menjadi memiliki 2 set kromosom yang sama. Semua langkah produksi tanaman double haploid ini dapat dicapai dalam 1 – 2 generasi. Karenanya, jika teknik kultur mikrospora dilakukan pada tanaman hibrida F1, akan menghasilkan tanaman homozygote dalam 1 generasi, sehingga mengurangi waktu yang diperlukan dalam membuat varietas yang uniform (true bred).

3. Variasi somaklonal
Variasi somaklonal merupakan variasi yang muncul dari kultur kalus. Dalam perbanyakan in vitro, biasanya pembentukan kalus dihindari, karena dapat memunculkan variasi, sehingga hasil yang diperoleh akan berbeda dari tanaman asalnya. Di sisi lain, kalus diinduksi dengan sengaja karena dapat berpotensi untuk produksi masa plantlet baru. Di samping itu, peluang terbentuknya variasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik dan untuk mendapatkan varietas-varieatas baru.
Hal ini karena mutasi dapat terjadi saat sel membelah khususnya dalam kondisi buatan seperti pada kultur jaringan dimana nutrien dan hormon berada dalam konsentrasi yang tinggi. Mutasi genetik selama perbanyakan dengan kultur jaringan disebut variasi somaklonal yang dapat meningkatkan keragaman genetik plasma nutfah tanaman. Somaklonal variasi dalam kultur jaringan mencakup variasi antar tanaman atau sel yang dapat terjadi dari semua jenis kultur jaringan.
Kultur kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel yang terjadi dari sel-sel jaringan awal yang membelah secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus dapat terbentuk pada bekas-bekas luka akibat infeksi Agrobacterium tumefaciens, akibat gigitan atau tusukan serangga. Kalus juga dapat diinduksi secara in vitro. Secara in vitro kalus dapat diperoleh dari potongan organ yang steril dan ditumbuhkan didalam media yang mengandung auxin atau kadang-kadang mengandung sedikit sitokinin.
Kalus dapat diinisiasi dari hamper semua bagian tanaman. Tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Pada pengamatan pembentukan kalus, sering diamati bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya pada sel yang berada pada jaringan periphery yang membelah terus-menerus, sedang sel-sel di tengah tetap. Pembelahan yang hanya terjadi pada lapisan luasr dapat disebbkan karena, ketersediaan hara yang lebih banyak, keluarnya gas CO2, penghambat yang bersifat fenolik, cahaya.
Dalam kultur kalus dapat terbentuk sel-sel yang heterogen. Sel-sel yang heretogen ini selain berasal dari materi asalnya, juga dapat muncul akubat periode kultur yang panjang melalui proses subkultur yang berkali-kali. Perubahan yang terjadi dapat merupakan aberasi kromosom, mutasi gen, duplikasi/poliploidi.
Kecepatan perubahan dalam kromosom dipengaruhi juga oleh macam media yang digunakan serta jenis tanaman. Kromosom yang tidak stabil ini menyulitkan perbanyakan jika tujuannya untuk memperoleh hasil yang sama dengan tanaman asal. Tetapi dapat digunakan dalam pemuliaan tanaman untuk memperoleh sifat-sifat baru.
Pembentukan Tunas dan Akar
Setelah kalus terbentuk, maka dilakukan induksi tunas dan induksi akar sehingga diperoleh plantlet. Plantlet kemudian diaklimatisasi dan ditanam dilapang. Variasi yang terjadi dapat dianalisis secara molekuler dengan menggunakan marker RAPD atau ISSR. Variasi juga diamati melalui pengamatan morfologi.

Daftar Pustaka:
Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Smith, R.H. 2000. Plant Tissue Culture: Techniques and Experiments. Academic press, London.
Taji, A., Dodd, W., Williams, R.R. 1997. Plant Tissue Culture Practice. University of New England, Armidale, NSW, Australia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar